20 Oktober, 2011

Soto Gandem

Oleh: Eka Hendra F.



Hari ini aku seperti memiliki dua nyawa, aku bekerja dengan semangat sekali, seperti tak ada rasa lelah sedikitpun di badanku. Konsentrasiku mampu kukerahkan dengan baik akhirnya pekerjaanku mampu keselesaikan dengan baik. Hari aku harus memberikan laporan kerja kepada atasanku. Setiap tanggal 20 aku membuat laporan Daftar Karyawan Baru, Daftar Mutasi,  Daftar Karyawan yang resign. Dari daftar itu atasanku akan melakukan pembebanan Gaji dan tunjangan terhadap seluruh karyawan baik pusat, cabang dan proyek.
Setelah sholat maghrib aku baru bisa keluar dari kantor, akupun langsung menuju kampus untuk menuntut ilmu. Lumayan macet diperjalanan, Jakarta memang belum ada ceritanya nggak macet. Untuk pengendara sepeda motor seperti aku ini kemacetan ini masih bisa teratasi dengan baik, karena masih bisa mencari jalan alternative untuk mempercepat perjalanan ke kampus. Karena sering mencoba melewati jalan-jalan tikus, waktu untuk menempuh kampus bisa di manaj dengan lebih efisien.
Akhirnya sampai pula aku di kampus STIE Ahmad Dahlan, kampus tempat aku mencari Ijazah Perguruan Tinggi, Eh salah tempat menuntut ilmu. Tapi jujur ku katakan aku memang hanya tertarik untuk mendapatkan ijazahnya dibanding ilmunya karena dalam benakku bahwa kesuksesan itu bukan karena Pendidikan Formal, melainkan pendidikan informal yang akan membawa kita kepada kesuksesan. Maaf Pak Dosen bukan bermaksud mengecilkan Anda. Tapi begitulah aku karena aku lebih menjiwai dunia entrepreneur, aku lebih suka bisnis. Dengan bisnis aku merasa lebih bisa mandiri dan merencakan kesuksesan hidupku.
Di Aula kampus masih berkumpul teman-temanku, tersirat pertanyaan dalam benakku kenapa mereka belum masuk kelas, padahal sebenarnya sudah menunjukkan waktu yang terlambat untuk masuk kelas. Ternyata setelah aku memarkirkan motorku, baru aku ketahui ternyata dosennya nggak hadir, dan tanpa keterangan dari pihak dosen. Pihak akademik pun tak bisa memberikan informasi apakan dosennya hadir atau absen. Tapi di papan pengumuman depan ruang akademik bertuliskan bahwa dosenku nggak ada keterangan.
Akhirnya aku memutuskan untuk tak berlama-lama di kampus, aku nggak mau membuang-buang waktu. Lebih baik langsung pulang karena bisa langsung istirahat. Langsung aku pamit dengan teman-temanku dan aku tancap motorku meninggalkan kampus.
Perut ini sudah terasa amat lapar, memang sudah waktunya perutku diisi. Apalagi tadi pagi aku nggak sarapan. Aku bangun kesiangan jadi nggak sempat sarapan lagi. Aku minum air putih yang banyak sekali untuk melupakan rasa lapar karena nggak sarapan.
Sambil nangkring di sepeda motorku, disepanjang jalan aku merenung memikirkan menu makan yang bakal aku santap. Karena aku lebih suka makan dengan menu yang berbeda-beda. Bosan rasanya kalau makan menunya cuma itu-itu saja. Pengen sekali mencoba menu-menu baru. Berapapun harganya tak jadi masalah yang penting aku bisa mencicipi masakan-masakan yang belum pernah aku santap.
Akhirnya sampai pula aku di sebuah warung makan yang bernama Soto Gandem, malam ini aku pilih Soto Gandem sebagai menu makanku. Aku sebenarnya sudah lama memperhatikan soto ini dari namanya saja begitu asing dan sepertinya soto ini masih terbilang baru dibuka di daerah sini. Soto ini terletak cukup dekat dengan keberadaan Masjid Kubah Mas. Masjid yang sering menjadi objek wisata kaum muslim, dari anak-anak TK, sekolah-sekolah madrasah, sampai ibu-ibu pengajian. Hari sabtu minggu Masjid ini ramai dengan para pengunjung.
Kembali ke soto, ternyata soto ini mirip dengan sotonya Pak Sadi yang terkenal itu. Dari bahan-bahanya terlihat sekali mirip dengan soto Pak Sadi. Waktu itu aku makan Soto Pak Sadi di Jl. Wolter Munginsidi, Jakarta. Mang luar biasa rasanya Soto Pak Sadi, mak Nyoss…. Soto Gandem hiasan Warungnya seperti gubuk pedesaan, kalau diamati menyenangkan sekali. Dalam pikirku yang punya warung ini tahu seni. Mengenai rasa ternyata sotonya kurang berani bumbu kalah jauh dibanding dengan Soto Pak Sadi. Ya wajarlahlah namanya juga Soto daerah kampung bukan daerah perkotaan, harganya juga Cuma Rp 15.000,- beda sekali dengan harga sotonya Pak Sadi yang ketika itu aku beli dengan harga Rp 38.000,-.
Sempat terpikir olehku ini sepertinya soto ini meniru atau jiplakan dari Soto Pak Sadi, ternyata beda, cuma sama pada bahan-bahannya saja tidak untuk rasanya. Soto Gandem kok nggak Gandem, padahal sebenarnya kalau rasanya bisa sama dengan Soto Pak Sadi, aku bisa tiap hari beli Soto itu. Namanya saja Soto Gandem, Gandem diambil dari bahasa Jawa istilah lain dari Mantep. Berarti soto yang mantep atau mak nyoss. Tapi ternyata nama tak sesuai dengan rasanya. Sepertinya pemilik warung ini mesti belajar lebih dalam lagi untuk memperkaya rasa sotonya. Bagiku harga nggak jadi masalah sepanjang lidah ini bisa dibikin goyang ngebor dan ketagihan. Seperti goyang ngebornya inul yang bikin para penontonnya ketagihan. Karena pastinya kalau namanya saja sudah beda dengan yang lain yaitu Gandem mestinya rasanya juga Gandem. Pastinya nanti bakal banyak pelanggan. Banyak orang yang mempromosikan dengan sukarela tentang di mana mendapatkan makanan yang enak.  

Label: